Tuesday, April 17, 2012

Studi Kritis Pembatasan Demonstrasi (UU no 9 tahun 1998)



Dalam hal ini mari kita kritisi keberlakuan UU aksi (demonstrasi) :
Kebijakan Kriminalisasi Terhadap Kebebasan Mengemukakan Pendapat di muka Umum Dalam Undang-undang No 9 tahun 1998 : Studi Kritik atas Ketentuan Pasal-pasal Terkait.
PEMBAHASAN
1. Prespektif HAM
Penyampaian pendapat di muka umum merupakan bentuk hak asasi manusia dalam mendirikan Negara yang memiliki nilai Demokrasi yang baik. Bisa dikatakan merupakan amanat konstitusional dimana tertuang dalam Pasal 28 huruf J Undang-undangD 1945 ayat 1 & 2 (amandemen kedua). Terdapat suatu pembatasan dalam Undang-undangD 45 terkait kebebasan yang tidak absolute karena dibebani oleh moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Sedangkan dalam Undang-undang No 9 tahun 1998 bentuk penyampaian pendapat di muka umum haruslah melakukan pemberitahuan ke pada pihak berwenang dengan segala prasyarat yang diatur dalam Undang-undang No. 9 tahun 1998. Maka, apabila bentuk penyampaian di muka umum dilarang oleh pihak-pihak terkait dilarang, bentuk pelarangan tersebut sama dengan menentang konstitusional.
Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
Pasal 23
(1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
(2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Pasal 25
Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang HAM tertuang di dalamnya bahwa kebebasan dalam berpendapat adalah hak yang harus diberikan Negara dan tidak boleh dipasung. Dan kebebasan tetap harus di batasi dengan nilai-nilai yang ada agar tercipta ketertiban.
2. Prespektif Hukum Politik Negara
Dari segi Historis keberadaan Undang-undang No 9 tahun 1998 merupakan bentuk Undang-undang yang dibuat secara temporer atau tidak berbentuk Ultinum Remidium. Tetapi pada pasal 510 KUHP dinyatakan bahwa dalam melakukan penyampaian pendapat harus mendapat ijin dari pihak berwenang, hal ini dilakukan oleh kolonial Belanda untuk mencegah terjadinya kesatuan dalam melawan pemerintah Belanda pada saat itu.
Lahirnya Undang-undang No 9 tahun 1998 dikarenakan desakan dimana masa pemerintahan BJ Habibie menggantikan lengsernya Presiden Soeharto dengan revormasi. Hal ini berkelanjutan dengan maraknya demonstrasi yang terjadi di berbagai tempat. Dari segi historis menurut saya lahirnya Undang-undang No 9 tahun 1998 merupakan reaksi sesaat dikarenakan keadaan yang dinilai beberapa orang telah memenuhi ultinum remidium.
Bila dikaitkan dengan hukum politik dimana kebijakan kriminalisasi terhadap kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum, terdapat penjelasan terkait dengan konstitusional yang mengatur kebebesan berpendapat di muka umum. Indonesia merupakan Negara yang berasaskan pancasila yang memiliki budaya sopan santun atau tata krama yang baik (budaya timur). Budaya inilah yang mengandung batasan-batasan dalam memukakan pendapat di muka umum, yang diantaranya bernilaikan : moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Moral bangsa Indonesia merupakan dimana bangsa yang memiliki budi luhur dalam menghormati tiap saudaranya. Nilai-nilai agama merupakan nilai dengan batasan yang tumbuh menjadi budaya pada bangsa Indonesia dan merupakan bagian parameter moral. Keamanan dan ketertiban umum merupakan hal yang penting dalam menyelenggarakan pemerintahan yang baik dan hal ini merupakan bagian penting dalam bentuk pembatasan penyampaian pendapat di depan umum.
Ada aspek dimana pada hakikatnya kebebasan merupakan hak asai manusia yang hakiki dan hanya terbatasi oleh hak manusia yang lain. Menurut logika dan analisis saya, kebebasan tanpa adanya batasan pada akhirnya pasti akan terbatasi secara otomatis, karena pada hakikatnya setiap makhluk yang bernyawa pasti memiliki batasan dimana makhluk itu harus mati. Sedangkan Dzat yang tidak memiliki batasan atau kekekalan hanyalah Allah SWT.
Maka dengan kebebasan berpendapat tersebutlah bermunculan demonstrasi atau unjuk rasa yang merupakan aksi berdasarkan reaksi ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa atau pemerintah terhadap rakyatnya. Demonstrasi atau unjuk rasa merupakan bagian dari sebuah bentuk (wadah) yang menjadi bagian dari demokrasi.
Pada prinsipnya demonstrasi atau unjuk rasa merupakan reaksi dari suatu kemungkaran yang harus dicegah atau diluruskan. Hal ini terdapat pada hadist dari Abu Said al-Khudri r.a., katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa diantara engkau semua melihat sesuatu kemungkaran, maka hendaklah mengubahnya itu dengan tangannya, jikalau tidak dapat, maka dengan lisannya dengan jalan menasihati orang yang melakukan kemungkaran tadi -dan jikalau tidak dapat juga- dengan lisannya, maka dengan hatinya -maksudnya hatinya mengingkari serta tidak menyetujui perbuatan itu. Yang sedemikian itu -yakni dengan hati saja- adalah selemah-lemahnya keimanan.” (Riwayat Muslim)
Dari hadist di atas dapat dijelaskan bahwa penyampaian pendapat di muka umum dapat dibenarkan guna mengubah kemungkaran atau keburukan, hal ini termasuk dalam usaha ke dua yaitu menasihati dengan lisan walau hal ini mendapat pertentangan karena ada ulama lain yang berpendapat nasihat tersebut harus disampaikan tidak di depan umum. Akan tetapi sudah menjadi rahasia umum bahwa penyamapaian pendapat atau nasihat dengan secara tertutup merupakan hal yang tak berguna.
Dan perbuatan demonstrasi atau unjuk rasa merupakan bentuk jihad untuk meluruskan penguasa agar tidak sewenang-wenang, hal ini terdapat dalam hadist dari Abu Said al-Khudri r.a. dari Nabi s.a.w. sabdanya: “Seutama-utamanya jihad ialah mengucapkan kalimat menuntut keadilan di hadapan seorang sultan -pemegang kekuasaan negara yang menyeleweng.” Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan. Dengan hadist tersebut walau tak kuat namun dapat kita kategorikan baik, karena sedikit orang yang berani meluruskan kekuasaan yang sewenang-wenang atau tidak adil. Dengan begitu perbuatan menuntut keadilan dapat dikategorikan sebagai bentuk unjuk rasa atau demonstrasi.
Dengan begitu dalam Islam membenarkan penyampaian pendapat terhadap penguasa agar tidak terjadi penyimpangan terhadap amanat yang dipikulnya, karena sebenarnya penguasa merupakan pelayan rakyatnya.
Permasalahan timbul ketika pemerintah menerapkan Undang-undang No. 9 tahun 1998 yang menjadikan kemerdekaan dalam menyamapaikan pendapat di muka umum dapat dikriminalkan (kriminalisasi) dengan alasan pokonya agar dapat menjaga ketertiban. Alasan atau dasar filosofi (Undang-undang No 9 th 1998) tersebut seharusnya bukan menjadi tolak ukur kriminal. Kriminalisasi dalam hal ini dapat dibenarkan bila memenuhi kebijakan-kebijakan sebagai berikut :
  1. Harus ditempatkan dalam kerangka tujuan pembangunan nasional. Pembangunan nasional dalam hal ini terkait bukan hanya fisik saja.
  2. Harus sesuai dengan prinsip fungsionalisasi hukum pidana sebagai Ultimum Remidium yang terintergrasi dengan Non Penal approach dalam penanggulangan kejahatan secara keseluruhan. Dalam Undang-undang No 9 th 1998 tidaklah termasuk dalam klasifikasi ini karena terindikasi munculnya Undang-undang tersebut bersifat temporer akibat kerusuhan akibat reformasi tahun 1997. Dapat dikatakan merupakan produk Undang-undang yang premature.
  3. Harus mempertimbangkan kemampuan SDM aparat penegak hukum yang akan menjalankan Undang-undang pidana setelah ditetapkan. Aparat dalam hal ini belum siap karena acap kali terpancing oleh masa demonstran dan berakhir bentrok (anarkis), ketidak seimbanganpun terjadi dengan jumlah masa demonstran dengan jumlah aparat yang ada. Walau terdapat rumusan 1 polisi = 5 demonstran.
  4. Harus berdasarkan atas Cost and Benefit Principle Analisys. Pembentukan Undang-undang ini tidak seimbang antara biaya dan hasil yang didapatkan pemerintah atau penguasa karena hasil atas keberadaan Undang-undang ini tidak maksimal.
  5. Harus mempertimbangkan efek atau ekses yang timbul setelah kriminalisasi baik terhadap korban, masyarakat atau Negara maupun pelaku (termasuk jika perbuatan tersebut tidak dikriminalkan).
  6. Harus merupakan perbuatan immoral atas warga masyarakat atau Harm to Society. Jika perbuatan demonstrasi terdapat hal-hal yang menciderai moral masyarakat maka patut untuk ditindak, namun jika terjadi sebaliknya aparat tidak bisa menjadikan perbuatan tersebut sebagai bentuk pelanggaran.
  7. Harus tidak boleh sekedar reaksi temporer. Dalam munculnya Undang-undang ini merupakan bentuk reaksi sesaat akibat ketakutan pemerintah dengan terjadinya banyak demonstrasi pasca revormasi tahun 1997.
  8. Harus semaksimal mungkin steril dari politisasi hukum pidana.1  Modul kuliah Bp. Kholiq “Beberapa Catatan Kritik atas Undang-undang No. 9 th 1998 Tentang KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM dari Prespektif HAM dan Politik Hukum Pidana” 5
3. Analisis terhadap Pasal-pasal dalam Undang-undang No. 9 tahun 1998
Pasal 6
Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
  1. menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain.
  2. menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum.
  3. menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum.
  5. menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pasal 6 merupakan bentuk batasan yang harus dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang akan memukakan pendapat di tempat umum, hal ini terkait dengan penggolongan Demonstrasi yang digolongkan dalam perkuliahan Hukum Pidana Politik (Bp. Kholiq tanggal 02 Mei 2011).
Unjuk rasa atau Demonstrasi diklasifikasikan dalam 3 bentuk :
1) Tidak anarkis dan bertanggung jawab (murni apresiasi)
2) Tidak anarkis dan tidak bertanggung jawab (pelecehan / penghinaan)
3) Anarkis dan tidak bertanggung jawab
Pasal 9
(1) Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan
a. unjuk rasa atau demonstrasi.
b. pawai.
c. rapat umum.
d. mimbar bebas.
(2) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali :
a. di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional.
b. pada hari besar nasional.
(3) Pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum.
Pasal 9 di atas terdapat kritikan karena terdapat pengecualian pada ayat (2) yang melarang unjuk rasa atau demonstrasi pada wilayah dan waktu tertentu. Permasalahan pokoknya terdapat pelarangan berdemo di istana presiden, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional yang sebenarnya merupakan dimana tempat yang baik dalam menyalurkan aspirasi. Terjadi pendiskriminasian dimana Negara memberi batasan dengan rakyatnya, dimana rakyat yang miskin tidak dapat menyentuh tembok putih istana Negara. Karena dalam penjelasan Undang-undang ini diatur mengenai jarak-jarak tertentu untuk berdemonstrasi di wilyah yang masuk kepengecualian. Dan dengan melihat seringnya terjadi penistaan agama, maka sering kali tempat-tempat ibadah yang diduga / telah membawa kesesatan didemonstrasi persis di tempat ibadah tersebut. Hal ini harus diperhatikan Negara bahwa hal ini bertentangan dengan realita yang ada.
Pasal 10
(1) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri. 8
(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat.
(4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.
Pasal 10 telah mempertegas bahwa saat ini bentuk dari penyampaian pendapat di muka umum bukan lagi bentuk perbuatan yang dilarang seperti dalam pasal 510 KUHP yang mewajibkan adanya ijin agar dapat melaksanakan kegiatan tersebut. Dan dalam ayat (4) dinyatakan bahwa pemberitahuan secara tertulis tidak dibutuhkan, sehingga jika terdapat demonstrasi dalam kampus atau kegiatan keagamaan (bergerombol) tidaklah dilarang atau harus memberitahu aparat berwajib.
Pasal 11
Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) memuat :
a. maksud dan tujuan; b. tempat, lokasi, dan rute; c. waktu dan lama; d. bentuk; e. penanggung jawab; f. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan; g. alat peraga yang dipergunakan; dan atau h. jumlah peserta.
Dalam pasal 11 ini jelas menyatakan syarat sah nya suatu penyampaian pendapat dimuka umum, apabila suatu syarat tidak dipenuhi maka suatu pergerakan penyampaian pendapat dapat dibubarkan oleh aparat. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan awal undang – undang ini dimana masyarakat dapat menyampaikan pendapatnya di muka umum.
Pasal 13
(1) Setelah menerima surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Polri wajib :
a. segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan.
b. berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum.
c. berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat.
d. mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute.
(2) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum.
(3) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Pasal 13 ayat (1) merupakan bentuk Undang-undang yang tidak memberi penjelasan terkait batasan waktu pada kata “segera” hal ini telah menciderai juga dasar-dasar pembenar kriminalisasi karena dapat dipergunakan sebagai alat politisasi hukum pidana. Hal inipun berbenturan dengan asas dan tujuan Undang-undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yaitu :
Pada pasal 2 ayat (1) “Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik.” Dan tujuannya pada pasal 3 huruf (a) “menjamin hak warga Negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik.” Dengan tujuan tersebut tidak ada hak dari kepolisian untuk tidak memberikan jawaban secara cepat dan terbuka karena jawaban tersebut tidak termasuk pengecualian data yang harus dirahasikan dalam Undang-undang keterbukaan informasi publik.
Pasal 15
Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dapat dibubarkan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10, dan Pasal 11. 10
Pasal 15 merupakan salah satu bentuk lagi upaya Negara untuk melkukan pembatas terhadap penyaluran apresiasi dari rakyat terhadap kinerja pemerintah. Contoh dengan melakukan unjuk rasa di depan Istana Presiden dengan jarak 1 m dari pagar terluar Istana telah dapat dibubarkan dengan pakasa oleh aparat karena dalam penjelasan pasal 9 ayat (2) menyatakan jarak unjuk rasa pada istana Presiden harus beradius 100 m dari pagar terluar Istana Presiden.
Pasal 16
Pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16 menjadi, pasal yang membuat bentuk penyampaian pendapat di muka umum tetap memiliki pembatasan yang jelas dan penegakan hukum dalam situasi unjuk rasa tetap di berikan karena dinilai sebagai bentuk perbuatan melawan hukum. Bentuk penjelasan pasal sebagai berikut : Yang dimaksud dengan “sanksi hukum” adalah sanksi hukum pidana, sanksi hukum perdata, atau sanksi administrasi. Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi. Dengan penjelasan tersebut maka bila terjadi suatu bentuk pelanggaran hukum teteap mendapat tindakan secara hukum.
Pasal 17
Penanggung jawab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-undang ini dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku ditambah dengan 1/3 (satu per tiga) dari pidana pokok.
Terdapat unsur kriminalisasi dimana seseorang yang menjadi penanggung jawab atas suatu aksi penyampaian pendapat mendapatkan hukuman ganda apabila terdapat pelanggaran sanksi pidana, pasal ini dapat diartikan menyamakan penanggung jawab seperti residivis karena terdapat penambahan beban hukuman dari hukuman pokok.
Pasal 18
(1) Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan.
Pasal 18 ayat (1) telah memberikan proteksi atas suatu kelompok yang berunjuk rasa pada suatu tempat yang telah di tentukan dan telah menempuh prosedur yang benar maka bila ada masa lain yang berlawanan dari kelompok tersebut dan berniat membubarkan kelompok massa yang lainya dapat dijerat dengan pidana 1 tahun penjara karena menghalang-halangi dengan ancaman atau kekerasan. Hal menjadi ambigu apabila aparat penegak hukum tidak termasuk dalam pasal ini. Hal ini sangat baik dan merupakan bentuk berikutnya dari tanggung jawab Negara sebagai pemberi Protection of Human Right.
4. Kesimpulan
Bahwa penerapan Undang-undang No. 9 tahun 1998 tidaklah dapat diktegorikan sebagai Undang-undang yang Ultimum Remidium melainkan Undang-undang yang premature karena terlahir akibat reaksi sesaat atas Revormasi tahun 1997.
Hal ini dilakukan pemerintah karena terdapat kekahwatiran akan terjadinya banyak unjuk rasa yang akan mengganggu ketertiban dan keamanan Negara. Sedangkan Negara tidak melakukan usaha yang lebih bersifat prefentif agar tidak terjadi kriminalisasi yang premature.
Berdasarkan pendapat Bassiouni, Soedarto, Muladi, Yenti. G, dll. terkait dasar-dasar pembenar kriminalisasi yang tertuang dalam 8 point dalam Modul Kuliah Hukum Pidana Politik (Bp. Kholiq) secara garis besar menurut saya belum memenuh dasar-dasar pembenar kriminalisasi.
Sedangkan yang seharusnya menjadi bentuk pemberian sanksi adalah golongan demonstran ke tiga yaitu golongan yang anarkis dan tidak bertanggung jawab. Bila golongan satu dan yang ke dua ikut diberikan sanksi pidana, maka hal ini akan menjadi sebuah kemunduran demokrasi.
Pada prinsipnya Indonesia memang membatasi kemerdekaan dalam mengemukakan pendapat di muka umum dengan parameter nilai-nilai moral dan agama. Karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi budi pekerti yang luhur, dimana sopan satun dan adat istiadat menjadi budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terdapat unsur kriminalisasi dimana seseorang yang menjadi penanggung jawab atas suatu aksi penyampaian pendapat mendapatkan hukuman ganda apabila terdapat pelanggaran sanksi pidana, dalam pasal 17 yang menyatakan “Penanggung jawab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-undang ini dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku ditambah dengan 1/3 (satu per tiga) dari pidana pokok” berarti dapat diartikan menyamakan penanggung jawab seperti residivis karena terdapat penambahan beban hukuman dari hukuman pokok.
perlukah izin?
Dengan adanya Undang – undang ini dapat secara tidak langsung mencerminkan pasal 510 KUHP karena pada esensinya melarang penyampaian pendapat suatu warga negara dengan dibebankan sanksi pidana pada pasal – pasalnya.